Wednesday, November 19, 2008

URGENSI MORAL BAGI PNS

Oleh : Teguh

Dengan mengemban Panca Prasetia Korpri, anggota Korps Pegawai Republik Indonesia memiliki banyak hal yang layak untuk kita review. Sebagai aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat sudah sepantasnya anggota Korpri berjiwa kesatria dalam menerima segala macam kritik dan masukan dari berbagai elemen masyarakat. Anggota Korpri yang identik dengan pegawai negeri atau ”pegawainya” pemerintah adalah gambaran berbagai sorotan yang belum mengimplementasikan secara optimal : kedisiplinan, produktifitas, kinerja dan moral (akhlak). Dalam keseharian dinilai masih jauh dari yang dicita-citakan oleh nilai-nilai dalam Panca Prasetia, sebagai filosofi dasar anggota Korpri.


Tulisan ini mencoba melihat fenomena yang menyentuh perlunya perubahan mendasar para elemen dan elite anggota Korpri di semua lini. Kita akan mereview kembali betapa pentingnya nilai-nilai dasar yang wajib dipegang teguh oleh semua, dalam hal ini kaitannya dengan urgensi moral aparatur. Walaupun pada dasarnya tatanan kehidupan bangsa Indonesia akhir-akhir ini tidak hanya dimulai dari perilaku apartur, melainkan telah terlampau kompleks, sehingga memunculkan apa yang disebut dengan reformasi. Reformasi (Re = kembali, Format/Formatie = bentuk) yang berkembang sejak tahun 1998 merupakan kehendak bangsa Indonesia untuk meredefinisikan seluruh tatanan, aturan dan pelaku utama biokrasi yang secara formal selama beberapa dasawarsa mendapat legitimasi.

Bentuk-bentuk aturan dan tatanan yang dianggap mapan, ditinjau kembali sebagai upaya penghilangan unsur-unsur yang berbias penyimpangan. Disadari, dengan terkuaknya berbagai penyimpangan maka citra bangsa secara keseluruhan di mata masyarakat dan dunia kurang begitu menguntungkan; di antaranya secara moral merendahnya apresiasi masyarakat terhadap aparatur dan secara ekonomis berkurangnya investasi bertambahnya pengangguran. Norma-norma hukum, ekonomi, politik, keamanan dan hak asasi manusia (HAM); bahkan moral dan etika bangsa menjadi tameng untuk membenarkan kehendak individu. Maka sebagian komponen bangsa --yang belakangan disebut reformis-- menghendaki agar segera diagendakan perubahan-perubahan yang mendasar untuk mengembalikan tatanan yang dianggap menyimpang itu kembali pada rel yang sebenarnya. Dengan demikian reformasi menjadi kendaraan utama untuk keluar menuju kearah perbaikan total.


Keragaman Rawan Gesekan

Dikembalikan pada hakekat bangsa Indonesia yang heterogen dan majemuk maka tidak mustahil banyak sekali kerawanan yang terjadi dan mengakibatkan terpecahnya keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa. Bila lima macam agama yang diakui, puluhan adat istiadat yang berkembang, ratusan bahasa, ribuan pulau dan jutaan warga masyarakat, tentunya moral dan akhlaknya pun berbeda satu sama lain. Ini berarti teramat riskan dengan terjadinya gesekan, konflik dan intrik antar sesama. Di sinilah keberagaman sebagai sumber krisis jika tidak dikelola dengan arif.

Untuk itu, memahami akan hakekat kemajemukan tersebut diperlukan sikap saling pengertian satu sama lain, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat maupun bangsa. Terlebih disadari bahwa keberagaman ternyata merupakan titah dari Yang Maha Kuasa; maka prinsipnya bila diambil nilai positif terdapat sumber yang menguntungkan yang dalam bahasa agama Islam disebut rahmat.

Namun demikian, betapun perbedaan sebagai sumber krisis atau sebagai sumber rahmat sangat bergantung pada moral (baca : akhlak) setiap anak bangsa.di sisni kita dibenarkan untuk mengharap kemungkinan peranan agama secara lebih besar. Bagi Muslim selain timbul dari kesadaran keimanannya, memiliki peran dan pengaruh sangat besar pula dalam menentukan perubahan akhlak dan moral bangsa ini. Oleh karena itu, terdorong untuk melihat diri sendiri dengan jujur melalui pertanyaan pribadi : Benarkah umat ini telah dijiwai dan dibimbing oleh akhlak yang mulia? Sudahkah umat ini memenuhi penegasan Nabi Muhammad SAW bahwa dirinya diutus hanyalah untuk menyempurnakan keluhuran akhlak?

Kita sering membanggakan diri sebagai bangsa Timur (dengan konotasi : berbudaya tinggi, beradab sekaligus penuh adab) atau bangsa yang religius (yang berarti pula memilki akhlak yang diajarkan oleh setiap agama), tetapi dapat dikatakan bahwa kebanggaan tersebut ternyata kosong belaka. Bagaimana mungkin bila bangsa ini berakhlak dan bermoral tetapi perangkat, aturan, norma : hukum, politik, ekonomi ternyata banyak diselewengkan. Bagaimana mungkin bila berakhlak : sopan, berbudi pekerti luhur, ramah bila orang asing baik sebagai wisatawan atau investor menemukan kejanggalan dalam perlakuan. Si wisatawan kaget dengan penodongan dan penjambretan di jalanan sementara investor ketakutan dengan perilaku para buruh yang senantiasa menuntut hak dengan mengesampingkan kewajibannya. Semua ketidaknyamanan bersumber dari moralitas anak bangsa yang tak terkendali dengan mengatasnamakan hak-hak bangsa. Mereka menemukan bangsa yang (maaf) merusak, membakar, menjarah, korup dan sekian banyak predikat negatif lainnya. Kita termasuk bangsa yang pandai membuat aturan, perangkat, sistem dan asas serta kita pun bangsa yang taat dengan asas bagaimanapun resikonya. Akan tetapi dibalik itu kita pun dinilai termasuk yang tidak konsisten dengan aturan yang kita buat sendiri.


Peran Akhlak

Bangsa lain melihat bagaimana pungli dijumpai dimana-mana, penyelewengan sudah cukup sebagai skandal yang memalukan. Pemaknaan conflict of interest di negeri yang beradab ini masih sedemikian lemahnya atau bahkan tidak ada sama sekali. Akhirnya dalam kenyataan praktek-praktek ekonomi, politik, hukum, birokrasi dan sebagainya sangat bertentangan dengan deklarasi moral bangsa kita yang nota bene sebagai bangsa yang bermoral, berakhlak dan beragama.

Ketimpangan sosial, ekonomi, penerapan hukum dan keadilan dengan memandang bulu saat itu tidak karena keslahan kita sendiri. Yaitu karena tidak adanya prinsip berpegang teguh pada akhlak dan moral sebagaimana yang dikehendaki oleh setiap agama. Agama menjadi sendi pokok ketahanan suatu bangsa menghadapi panca roba zaman. Tanpa akhlak yang baik suatu bangsa akan binasa. Sebuah syair berbahasa Arab menyebutkan :

Sesungguhya bangsa-bangsa itu tegak selama (mereka berpegang pada) akhlaknya. Bila akhlak mereka rusak dan binasa pulalah mereka.

Akhlak dan moral sangat menentukan kejayaan dan kehancuran suatu bangsa. Pembinaan moral bangsa secara hukum dimulai oleh penegak keadilan dan ditegakkannya produk hukum pun harus sejalan dengan moral agama. Sementara penegak keadilan pun harus berpandangan bahwa hukum dan keadilan yang diembannya sebagai amanah Tuhan yang harus dijunjung tinggi. Begitu pula pembinaan moral yang lain : politik, ekonomi dan seterusnya, harus berpangkal pada akhlak politik (high politics) serta moral ekonomi yang sebenarnya. Artinya, tidak sekedar perprinsip pada pengeluaran modal yang sedikit mungkin untuk memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Ini akan melanggar akhlak ekonomi yang diajarkan oleh agama apapun.
Prinsip Mazhavelle yang perpegang pada penghalalan segala cara untuk mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda benar-benar awal dari kehancuran suatu bangsa secara keseluruhan.

Moral itulah yang akan menciptakan kebaikan, siapa pun yang menegakkanya. Dan pelanggaran terhadap keadilan akan mengakibatkan malapetaka, siapa pun yang melakukannya. Oleh sebab itu, didalam Al-Qur’an ditegaskan bahwa keadilan harus ditegakkan sekalipun mengenai karib, kerabat, teman (kroni) serta familinya. Sekaligus tidak dibenarkan karena suatu kebencian dan konflik pribadi membuat keadilan tidak dapat ditegakkan. Rasulullah Saw, pernah mengultimatum dihadapan putri dan Sahabat-sahabatnya : ” Seandainya putriku (fatimah) ini mencuri, maka biar aku (Rasul) sendiri yang akan memotong tangannya ”.

Prinsip akhlak di dalam Islam juga dilihat dari aspek-aspek yang lain, termasuk sosial dan ekonomi. Bahwa kewajiban memperhatikan kaum terlantar (dhu’afaa), jika tidak dilakukan dengan sepenuhnya akan mengakibatkan kehancuran suatu masyarakat. Implikasi dari usaha menegakkan keadilan bagi merekan ialah dengan memperjuangkan kepentingan golongan masyarakat yang terpuruk serta kurang beruntungnya nasibnya itu. Padahal, selama ini terlihat oleh kita bahwa penerapan keadilan sosial belum sepenuhnya menyentuk masyarakat tersebut. Kebijakan ekonomi bertumpu dan berputar pada pengusaha-pengusaha tertentu, sehingga menjadikan ketimpangan keadilan sosial dan ekonomi lebih menjolok. Untuk itulah diperlukan tatanan dan aturan yang mendukung keberadaan (eksistensi) sosial ekonomi di semua lini masyarakat, baik kecil maupun menengah tanpa mengesampingkan kelas atas.

Dalam hal ini diperlukan rancangan aturan yang berbasis pada keadilan sehingga praktek-praktek bisnis yang tidak sehat dapat dihilangkan. Demikian pula aturan-aturan tersebut benar-benar mampu menghilangkan praktek-praktek korupsi, kolusi, dan manipulasi yang berdampak pada penguasaan/monopoli suatu usaha. Lebih dari itu semua, pelaku kebijakan teras atas serta komponen masyarakat penegak keadilan pun harus bertumpu pada moral yang ditegakkan oleh hati nuraninya. Bukan sekedar karena aturan semata. Semoga. ***





Selengkapnya...

Korpri dan Neofeodalisme dalam Birokrasi

Ditulis oleh: Sawali Tuhusetya

Pada 29 November 2007, Korpri genap berusia 36 tahun. Jika dianalogikan dengan kehidupan manusia, rentang usia tersebut bisa dibilang masih cukup muda. Usia yang identik dengan idealisme, tetapi tak jarang gampang tersulut emosi dan tensi tinggi. Wadah non-kedinasan bagi pegawai yang dibentuk berdasarkan Keppres No. 82 tahun 1971 ini –warisan rezim Orde Baru– dinilai makin eksis berkiprah di tengah riuhnya dinamika zaman. Korpri dinilai cukup berhasil dalam melakukan pembinaan dan penggalangan eksternal secara total dan intens kepada para anggotanya. Dengan doktrin “Bhinneka Karya Abdi Negara” didukung mobilitas andal, Korpri telah mampu menyamakan gerak, langkah, pikiran, dan tindakan para pegawai yang tersebar di segenap lini dan sektor kehidupan. Sungguh, bukan soal mudah mengakomodasi dan mengakumulasi beragam profesi dalam satu visi.


Meskipun demikian, secara jujur harus diakui, masih banyak masalah krusial yang belum teratasi, masih banyak agenda penting yang luput dari perhatian. Dalam rentang usia yang belum bisa dibilang “dewasa”, Korpri dituntut untuk bisa bersikap arif dan dewasa dalam menangani masalah-masalah yang muncul maupun menyikapi kritik yang mencuat. Ibarat sosok pemuda, Korpri harus sanggup memanggul beban idealisme di tengah-tengah tantangan zaman yang semakin berat. Upaya meningkatkan bobot dan mutu pengabdian pegawai demi terciptanya aparatur pemerintah yang bersih dan berwibawa “harus” menjadi agenda yang urgen dan penting untuk digarap.

Dalam UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian disebutkan bahwa dalam rangka usaha mencapai tujuan nasional untuk mewujudkan masyarakat madani yang taat hukum, berperadaban modern, demokratis, makmur, adil, dan bermoral tinggi, diperlukan Pegawai Negeri yang merupakan unsur aparatur negara yang bertugas sebagai abdi masyarakat yang menyelenggarakan pelayanan secara adil dan merata, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dengan penuh kesetiaan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (klausul Menimbang butir a). Untuk itu, diperlukan Pegawai Negeri yang berkemampuan melaksanakan tugas secara profesional dan bertanggung jawab dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan, serta bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (klausul Menimbang butir b) .
Makna dan nilai luhur yang tersirat dari ketentuan tersebut ialah bahwa dalam menjalankan tugas dan pengabdiannya, seorang pegawai harus mengedepankan sikap jujur, disiplin, dan bertanggung jawab kepada bangsa dan negara serta masyarakat Indonesia, dilandasi semangat religius, dedikasi, dan loyalitas tinggi.

Tampaknya ketentuan tersebut belum sepenuhnya terinternalisasi secara intensif oleh segenap jajaran warga Korpri. Diakui atau tidak, masih ada keeenderungan pegawai kita yang bermental feodal dan elitis. Status priyayi yang diwariskan oleh kaum penjajah tampak belum benar-benar terkikis. Mereka bukannya mau melayani masyarakat dengan sikap yang baik dan tulus, melainkan malah minta dilayani ala “borjuis kecil”. Bahkan, di dalam Korpri ditengarai telah muncul fenomena neo-feodalisme dalam tatanan birokrasi. Para pegawai yang seharusnya menjadi abdi negara dan abdi masyarakat justru terkesan elitis dan eksklusif. Mereka dinilai makin jauh jaraknya dari masyarakat.

Yang memprihatinkan, tragedi penggusuran dan razia terhadap pedagang-pedagang kecil masih marak dan terus terjadi di berbagai kota. Bahkan, isu penilapan beras untuk rakyat miskin (raskin) atau bantuan untuk korban bencana sudah jadi rahasia umum yang terungkap di depan publik. Esensi utama sebagai abdi masyarakat belum terealisasikan dalam tataran praktek. Idiom-idiom miring, semacam pungutan liar (pungli), manipulasi dan mark-up anggaran, kolusi, korupsi, atau nepotisme masih sangat kental melekat dalam tubuh Korpri.

Keluhan masyarakat tentang rendahnya mutu pelayanan di sektor publik yang ditandai dengan ruwetnya birokrasi dan masih sumirnya pemahaman budaya disiplin masih sering terdengar. Simaklah “somasi terselubung” yang gencar disuarakan oleh masyarakat luas lewat Surat Pembaca di berbagai media cetak. Kasus ganti rugi tanah yang dinilai tidak layak, belum optimalnya pelayanan hukum sehingga memicu munculnya rumor “mafia” peradilan, pengurusan sertifikat tanah yang berbelit-belit, atau lambannya pelayanan administrasi di kantor-kantor yang bersentuhan langsung dengan denyut kehidupan masyarakat merupakan fenomena umum yang sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.

Kondisi tersebut diperparah dengan munculnya “oknum” pegawai yang bermental korup, sehingga tak segan-segan menyalahgunakan jabatan dan wewenangnya untuk melakukan korupsi, manipulasi, kolusi, dan sederet ulah tak jujur lainnya yang merugikan kepentingan publik. Jika kondisi semacam itu dibiarkan berlarut-larut, jelas membuat citra pegawai merosot, masyarakat pun jadi tidak respek lagi terhadap figur pegawai. Dalam keadaan demikian, Korpri harus semakin mempertajam visi dan misinya dalam menegakkan disiplin pegawai, mengakarkan roh spiritual ke dalam nurani setiap pegawai, dan meningkatkan profesionalisme pegawai dalam upaya memberikan pelayanan publik yang bermutu dan berbobot.

Setidaknya, ada tiga agenda penting yang perlu dilakukan oleh Korpri dalam upaya meningkatkan mutu dan bobot pelayanan publik yang mesti disosialisasikan secara gencar kepada segenap jajaran warga Korpri. Pertama, meningkatkan keterampilan profesional pegawai. Entitas profesionalisme akan tampak pada sosok pegawai yang cekatan dan terampil mengemban tugasnya di lapangan. Upaya merekrut calon pegawai hendaknya lebih diperketat melalui uji keterampilan yang selektif sesuai bidangnya masing-masing, sehingga tidak lagi merasa “gagap” setelah menyentuh tugasnya di lapangan. Upaya ini mesti didukung oleh kinerja dunia pendidikan yang mampu menghasilkan out-put yang memiliki basis kognitif, afektif, dan psikomotorik andal.

Kedua, mengekstensifkan dan mengintensifkan wawasan pegawai. Sebagai salah satu “pilar” pembangunan, tugas rutin pegawai di lapangan akan semakin “afdol” jika ditunjang dengan wawasan dan visi yang luas. Upaya memberikan kesempatan belajar dan pemberian beasiswa studi lanjut bagi para pegawai yang potensial perlu lebih digalakkan. Selain itu, setiap pegawai hendaknya memiliki hasrat belajar secara simultan dan berkelanjutan, baik lewat buku maupun kehidupan, untuk lebih meningkatkan aktualitas diri sesuai bidang tugas yang digelutinya.
Ketiga, mempertinggi integritas kepribadian pegawai. Munculnya mentalitas korup dan tidak jujur yang dibingkai kepentingan dan pamrih sempit, boleh jadi lantaran keringnya integritas kepribadian, sehingga merasa tak berdosa ketika melakukan setumpuk dosa dan penyimpangan moral.

Melahirkan pegawai yang tinggi integritas kepribadiannya jelas menjadi tantangan tersendiri bagi Korpri di tengah-tengah semakin dahsyatnya pola hidup konsumtif, materialistis, dan hedonis yang melanda kehidupan global saat ini. Dalam hal ini, Korpri harus lebih gencar lagi dalam mengakarkan kode etik “Panca Prasetya Korpri” kepada para pegawai, sehingga tidak terperangkap menjadi slogan moral yang kehilangan nilai spiritualnya. Kode etik tersebut harus mendarah daging dan bernaung-turba ke dalam nurani pegawai, tidak cukup sekadar dihafalkan tanpa penghayatan dan pengamalan.

Sisi lain yang penting dicermati adalah tak henti-hentinya “meniupkan” roh spiritualisme ke dalam dada warga Korpri. Dengan semangat spiritualisme yang terus memancar, warga Korpri akan semakin optimal mengemban tugas sehinngga tidak mudah tergoda untuk melakukan tindakan “konyol” yang bisa meruntuhkan namanya sebagai seorang abdi negara dan abdi masyarakat.

Dengan demikian, menjalani profesi sebagai pegawai negeri tidak semata-mata berupa pelepasan energi fisik untuk menghasilkan sesuatu, tetapi pada tugas tersebut juga melekat faktor spiritual. Selain menghasilkan sesuatu, mereka juga dapat mengekspresikan diri dalam melaksanakan tugasnya yang berfungsi sebagai simbol menjadi sebuah “kode” yang menunjuk nilai atau makna tertentu (Sartono Kartodirdjo, 1994:105).

Nilai kesalehan, baik pribadi maupun sosial, agaknya bisa menjadi resep mujarab dalam mencegah berjangkitnya “penyakit” moral. Dengan landasan spiritual yang tinggi, tanpa ada pengawasan melekat pun seorang pegawai tidak akan mudah tergiur dan tergoda untuk melakukan tindakan tercela, sebab setiap gerak-geriknya senantiasa merasa diawasi oleh Yang Maha melihat.

Agar bisa memberikan mutu pelayanan yang baik kepada publik, pengejawantahan nilai-nilai kepemimpinan luhur perlu menjadi sebuah keniscayaan bagi pegawai negeri. Agaknya, insan pegawai negeri, khususnya para pemimpin di jajaran birokrasi, bisa becermin dan sekaligus mengambil hikmah dari nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam ajaran Asthabrata, sebuah ajaran luhur tentang perilaku hidup yang pernah diterima Arjuna dari Begawan Kesawasidhi. Ajaran ini mengandung delapan watak alam yang bisa dijadikan sebagai “simbol moralitas” manusia modern di tengah-tengah dahsyatnya gerusan nilai global yang gencar menawarkan gaya hidup konsumtif, materialistis, dan hedonis.

Pertama, watak bumi (simbol karakter manusia yang mau memeratakan kekayaannya kepada siapa pun tanpa pilih kasih). Kedua, watak matahari (mampu memberikan penerangan, kehangatan, dan energi secara merata kepada mereka yang membutuhkan). Ketiga, watak bulan (mampu membahagiakan orang lain dengan penuh sentuhan kelembutan cinta dan kasih sayang terhadap sesama). Keempat, watak angin (bersikap adaptif dan bisa bergaul dengan siapa saja tanpa membedakan status, agama, atau ras).

Kelima, watak samudra (mampu menampung keluhan, aspirasi, dan masukan orang lain dengan tingkat kesabaran yang tinggi). Keenam, watak air (bersikap adil dan ikhlas, tidak arogan, tidak mau menang sendiri, dan memiliki semargat persaudaraan yang tinggi terhadap sesama). Ketujuh, watak api (memiliki kekuatan pelebur yang mampu memecahkan masalah yang muncul). Dan kedelapan, watak bintang (tegar, tangguh, dan tidak mudah tergoda untuk melakukan perbuatan tercela).

Agaknya, nilai-nilai dalam ajaran Asthabrata terkesan “perfeksionis” dan terlalu berlebihan diharapkan dari figur seorang pegawai negeri. Untuk bisa direalisasikan pada tataran praktek dibutuhkan perhatian serius dan kesadaran tinggi. Akan tetapi, jika komitmen dan tanggung jawab moralnya senantiasa ditujukan semata-mata untuk kepentingan bangsa dan negara serta seluruh masyarakat, nilai-nilai luhur tersebut bukan mustahil akan menjadi entitas jatidiri warga Korpri yang pada gilirannya akan muncul sosok pegawai yang bervisi kerakyatan, kemanusiaan, kejujuran, dan tidak korup.

Di tengah-tengah arus globalisasi, visi dan misi yang mesti dipikul Korpri sebagai satu-satunya wadah non-kedinasan bagi pegawai negeri memang tidak semakin ringan. Dalam kondisi demikian, Korpri mesti bersikap terbuka terhadap kritik sehingga tidak akan terjebak menjadi sebuah organisasi yang kaku dan tertutup.

Seiring dengan meningkatnya taraf hidup dan pendidikan masyarakat, Korpri juga semakin dituntut untuk mampu memberikan mutu pelayanan publik yang baik dan memuaskan. Hanya dengan cara demikian, kiprah Korpri akan semakin eksis, citra pegawai negeri akan terbangun, masyarakat pun akan semakin respek terhadap keberadaan Korpri dan pegawainya. Sebuah tantangan yang butuh dijawab oleh Korpri. Nah, dirgahayu Korpri! ***




Selengkapnya...

Korpri dan Mutu Pelayanan Publik

Ditulis oleh: Sawali Tuhusetya

Tanggal 29 November 1997, hari ini Korpri genap berusia 26 tahun. Sejak terbentuk berdasarkan Keppres No. 82 tahun 1971, banyak kalangan menilai, Korpri kian eksis berkiprah di tengah riuhnya dinamika zaman. Korpri dinilai cukup berhasil dalam melakukan pembinaan dan penggalangan eksternal secara total dan intens kepada para anggotanya sesuai fungsinya sebagai wadah non-kedinasan bagi pegawai negeri.
Dengan doktrin “Bhinneka Karya Abdi Negara” didukung mobilitas andal, Korpri telah mampu menyamakan gerak, langkah, pikiran, dan tindakan para pegawai yang tersebar di segenap lini dan sektor kehidupan. Sungguh, bukan soal mudah mengakomodasi dan mengakumulasi beragam profesi dalam satu visi.


Namun demikian, secara jujur harus diakui, masih banyak masalah krusial yang belum teratasi, masih banyak agenda penting yang luput dari perhatian. Dalam rentang usia yang belum bisa dibilang “dewasa”, Korpri dituntut untuk bisa bersikap arif dan dewasa dalam menangani masalah-masalah yang muncul maupun menyikapi kritik yang mencuat. Ibarat sosok pemuda, Korpn harus sanggup memanggul beban idealisme di tengah-tengah tantangan zaman yang semakin berat. Upaya meningkatkan bobot dan mutu pengabdian pegawai demi terciptanya aparatur pemerintah yang bersih dan berwibawa “harus” menjadi agenda yang urgen dan penting untuk digarap.

Dalam pasal 3 Undang-undang No. 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian ditegaskan bahwa pegawai negeri adalah unsur aparatur negara, abdi negara, dan abdi masyarakat yang harus setia dan taat kepada Pancasila dan UUD 1945, negara dan pemerintah Republik Indonesia, bersatu padu, bermental baik, bersih, berwibawa, dan berhasil guna.

Makna dan nilai luhur yang tersirat dari ketentuan tersebut ialah bahwa dalam menjalankan tugas dan pengabdiannya, pegawai harus mengedepankan sikap jujur, disiplin, dan bertanggung jawab kepada bangsa dan negara serta masyarakat Indonesia, dilandasi semangat religius, dedikasi, dan loyalitas tinggi.
Profesionalisme

Tampaknya ketentuan di atas belum sepenuhnya terinternalisasi secara intensif oleh segenap jajaran warga Korpri. Diakui atau tidak, masih ada keeenderungan pegawai kita yang bermental feodal dan elitis. Status priyayi yang diwariskan oleh kaum penjajah tampak belum benar-benar terkikis. Mereka bukannya mau melayani masyarakat dengan sikap yang baik dan tulus, melainkan malah minta dilayani ala “borjuis kecil”. Esensi utama sebagai abdi masyarakat belum terealisasikan dalam tataran praktek.

Keluhan masyarakat tentang rendahnya mutu pelayanan di sektor publik yang ditandai dengan ruwetnya birokrasi dan masih sumirnya pemahaman budaya disiplin masih sering terdengar. Simaklah “somasi terselubung” yang gencar disuarakan oleh masyarakat luas lewat Surat Pembaea di berbagai media cetak. Kasus ganti rugi tanah yang dinilai tidak layak, belum optimainya pelayanan hukum sehingga memicu munculnya rumor “mafia” peradilan, pengurusan sertifikat tanah yang berbelit-belit, atau lambannya pelayanan administrasi di kantor-kantor yang bersentuhan langsung dengan denyut kehidupan masyarakat merupakan fenomena umum yang sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.

Kondisi tersebut diperpar+ah dengan munculnya “oknum” pegawai yang bermental korup, sehingga tak segan-segan menyalahgunakan jabatan dan wewenangnya untuk melakukan korupsi, manipulasi, kolusi, dan sederet ulah tak jujur lainnya yang merugikan kepentingan publik. Jika kondisi semacam itu dibiarkan berlarut-larut, jelas membuat citra pegawai merosot, masyarakat pun jadi tidak respek lagi terhadap figur pegawai.

Dalam keadaan demikian, Korpri harus semakain mempertajam sisi dan misinya dalam menegakkan disiplin pegawai, mengakarkan ruh spiritual ke dalam nurani setiap pegawai, dan meningkatkan profesionalisme pegawai dalam upaya memberikan pelayanan publik yang bermutu dan berbobot.

Setidaknya, ada tiga agenda penting Korpri dalam upaya meningkatkan mutu dan bobot pelayanan publik yang mesti disosialisasikan secara gencar kepada segenap jajaran warga Korpri.

Pertama, meningkatkan keterampilan profesional pegawai. Entitas profesionalisme akan tampak pada sosok pegawai yang cekatan dan terampil mengemban tugasnya di lapangan. Upaya merekrut calon pegawai hendaknya lebih diperketat melalui uji keterampilan yang selektif sesuai bidangnya masing-masing, sehingga tidak lagi merasa “gagap” setelah menyentuh tugasnya di lapangan. Upaya ini mesti didukung oleh kinerja dunia pendidikan yang mampu menghasilkan out-put yang memiliki basis kognitif, afektif, dan psikomotorik andal.

Kedua, mengekstensifkan dan mengintensifkan wawasan pegawai. Sebagai salah satu “pilar” pembangunan, tugas rutin pegawai di lapangan akan semakin “afdol” jika ditunjang dengan wawasan dan visi yang luas. Upaya memberikan kesempatan belajar dan pemberian beasiswa studi lanjut bagi para pegawai yang potensial perlu lebih digalakkan. Selain itu, setiap pegawai hendaknya memiliki hasrat belajar secara simullan dan berkelanjutan, baik lewat buku maupun kehidupan, untuk lebih meningkatkan aktualitas diri sesuai bidang tugas yang digelutinya.

Dan ketiga, mempertinggi integritas kepribadian pegawai. Munculnya mentalitas korup dan tidak jujur yang dibingkai kepentingan dan pamrih sempit, boleh jadi lantaran keringnya integritas kepribadian, sehingga merasa tak berdosa ketika melakukan setumpuk penyimpangan moral. Melahirkan pegawai yang tinggi integritas kepribadiannya jelas menjadi tantangan tersendiri bagi Korpri di tengah-tengah semakin dahsyatnya pola hidup konsumtif, materialis, dan hedonis yang melanda kehidupan modern saat ini. Dalam hal ini, Korpri harus lebih gencar lagi dalam mengakarkan kode etik “Saptaprasetya Korpri” kepada para pegawai, sehingga tidak terperangkap menjadi slogan moral yang kehilangan nilai spiritualnya. Kode etik tersebut harus mendarah daging dan bernaung-turba ke dalam nurani pegawai, tidak cukup sekadar dihafalkan tanpa penghayatan dan pengamalan.
Roh Spiritual

Sisi lain yang penting dicermati adalah tak henti-hentinya “meniupkan” roh spiritualisme ke dalam dada warga Korpri. Dengan semangat spiritualisme yang terus memancar, warga Korpri akan semakin optimal mengemban tugas sehinngga tidak mudah tergoda untuk melakukan tindakan “konyol” yang bisa meruntuhkan namanya sebagai seorang abdi negara dan abdi masyarakat.

Dengan demikian, menjalani profesi sebagai pegawai negeri tidak semata-mata berupa pelepasan energi fisik untuk menghasilkan sesuatu, tetapi pada tugas tersebut juga melekat faktor spiritual. Selain menghasilkan sesuaiu, mereka juga dapat mengekspresikan diri dalam melaksanakan tugasnya yang berfungsi sebagai simbol menjadi sebuah “kode” yang menunjuk nilai atau makna tertentu (Sartono Kartodirdjo, 1994:105).

Nilai kesalehan, baik pribadi maupun sosial, agaknya bisa menjadi resep mujarab dalam mencegah berjangkitnya “penyakit” moral. Dengan landasan spiritual yang tinggi, tanpa ada pengawasan melekat pun seorang pegawai tidak akan mudah tergiur dan tergoda untuk melakukan tindakan tercela, sebab setiap gerak-geriknya senantiasa merasa diawasi oleh yang Maha melihat.

Agar bisa memberikan mutu pelayanan yang baik kepada publik, pengejawantahan nilai-nilai kepemimpinan luhur perlu menjadi sebuah keniscayaan bagi pegawai negeri. Dalam lampiran keputusan Munas IV Korpri tahun 1994 No: Kep. 05/ Munas/1994 tanggal 16 April 1994, setidaknya ada sebelas asas kepemimpinan luhur yang bisa dipedomani warga Korpri dalam mengemban tugasnya, yakni: takwa (menjalankan perintah dan menjauhi larangan Tuhan). ing ngarsa asung tuladha (di depan memberi teladan), ing madya mangun karsa (di tengah membangkitkan tekad dan semangat serta berprakarsa), tut wuri handayani (di belakang sebagai kekuatan pendorong), waspodo purbowiseso (waspada dan berani mengoreksi), ambeg parama arta (mampu menentukan dan memilih prioritas), prasojo (sederhana dan tidak berlebihan), setya (setia dan taat kepada pimpinan), gemi nastiti (hemat dan cermat), belaka (jujur dan penuh keterbukaan), dan legawa (ihlas).

Agaknya, nilai-nilai di atas terkesan “perfeksionis” dan terlalu berlebihan diharapkan dari figur seorang pegawai negeri. Untuk bisa direalisasikan pada tataran praktek dibutuhkan perhatian serius dan kesadaran tinggi. Akan tetapi, jika komitmen dan tanggung jawab moralnya senantiasa ditujukan semata-mata untuk kepentingan bangsa dan negara serta seluruh masyarakat, nilai-nilai luhur tersebut bukan mustahil .akan menjadi entitas jatidiri warga Korpri yang pada gilirannya akan muncul sosok pegawai yang bervisi kerakyatan, kemanusiaan, kejujuran, dan tidak korup.

Di tengah-tengah arus globalisasi, visi dan misi yang mesti dipikul Korpri sebagai satu-satunya wadah non-kedinasan bagi pegawai negeri memang tidak semakin ringan. Dalam kondisi demikian, Korpri mesti bersikap terbuka terhadap kritik sehingga tidak akan terjebak menjadi sebuah organisasi yang kaku dan tertutup.
Seiring dengan meningkatnya taraf hidup dan pendidikan masyarakat, Korpri juga semakin dituntut untuk mampu memberikan mutu pelayanan publik yang baik dan memuaskan. Hanya dengan cara demikian, kiprah Korpri akan semakin eksis, citra pegawai negeri akan terbangun, masyarakat pun akan semakin respek terhadap keberadaan Korpri dan pegawainya. Sebuah tantangan yang butuh dijawab oleh Korpri. Nah. dirgahayu Korpri!
(Suara Karya, 29 November 1997)

Selengkapnya...

Ketua Umum Korpri Minta PNS Netral dalam Politik

Surabaya (ANTARA News) - Ketua Umum Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri), Progo Nurdjaman, minta para pegawai negeri sipil (PNS) agar netral dan profesional, tidak menjadi kekuatan politik sebuah partai.

"Sejak bergulirnya reformasi, Korpri harus menjadi penyeimbang serta mampu menjaga netralitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara," katanya pada simposium Tantangan Revitalisasi Korpri Kedepan di Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Jatim di Surabaya, Selasa.

Progo mengemukakan hal itu terkait banyaknya birokrat yang mencoba maju dalam pemilihan kepala daerah, termasuk dalam Pemilihan Gubernur Jawa Timur tahun 2008 nanti.

Sekjen Depdagri ini mengatakan, berdasarkan UU Kepegawaian, Pegawai negeri Sipil (PNS) harus bebas dari pengaruh parpol atau kekuatan politik lain.

"PNS juga harus memberikan pelayanan terbaik pada masyarakat dan tidak boleh diskriminatif, baik atas dasar ras, fisik maupun atas dasar pilihan politik," katanya.

Selain itu, ujar Progo, dalam Nomor UU 32 Tahun 2005, PNS tidak boleh dilibatkan oleh kekuatan politik sebagai juru kampanye dalam suatu kegiatan pemilihan.

PNS juga tidak boleh menggunakan kekuasaan dan kewenangannya untuk mendukung ataupun menguntungkan calon tertentu dalam sebuah Pilkada.

Pada kesempatan tersebut Guru Besar Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Prof Hotman Siahaan, mengatakan saat ini Korpri dituntut dapat memperbaiki keadaan negara, artinya mampu membangun masyarakat tanpa menjadi kekuatan suatu partai.

"Pada era orde baru, Korpri dijadikan alat kekuasaan yang sangat efektif, sehingga mampu meraih suara terbanyak. Namun, saat ini harus mampu menjaga netralitas serta menjadi kekuatan yang profesional," katanya.(*)
COPYRIGHT © 2007


Selengkapnya...

Sejarah Korpri

Korps Pegawai Republik Indonesia merupakan suatu organisasi profesi beranggotakan seluruh Pegawai Negeri Sipil baik Departemen maupun Lembaga Pemerintah non Departemen. Korpri berdiri berdasarkan Keputusan Presiden Nomor : 82 Tahun 1971, 29 November 1971.

Korpri dibentuk dalam rangka upaya meningkatkan kinerja, pengabdian dan netralitas Pegawai Negeri, sehingga dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari lebih dapat berdayaguna dan berhasil guna.

Korpri merupakan organisasi ekstra struktural, secara fungsional tidak bisa terlepas dari kedinasan maupun di luar kedinasan. Sehingga keberadaan Korpri sebagai wadah unsur Aparatur Negara, Abdi Negara, dan Abdi Masyarakat harus mampu menunjang pencapaian tugas pokok institusi tempat mengabdi.

Latar belakang sejarah Korpri sangatlah panjang, pada masa penjajahan kolonial Belanda, banyak pegawai pemerintah Hindia Belanda, yang berasal dari kaum bumi putera. Kedudukan pegawai merupakan pegawai kasar atau kelas bawah, karena pengadaannya didasarkan atas kebutuhan penjajah semata.

Dalam kondisi seperti ini, muncul berbagai upaya agar pegawai negeri netral dari kekuasaan partai-partai yang berkuasa. Melalui Undang-Undang Nomor : 18 Tahun 1961 ditetapkan bahwa … Bagi suatu golongan pegawai dan/atau sesuatu jabatan, yang karena sifat dan tugasnya memerlukan, dapat diadakan larangan masuk suatu organisasi politik (pasal 10 ayat 3). Ketentuan tersebut diharapkan akan diperkuat dengan dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) yang mengaturnya, tetapi disayangkan bahwa, PP yang diharapkan akan muncul ternyata tidak kunjung datang.

Sistem pemerintahan demokrasi parlementer berakhir dengan meletusnya upaya kudeta oleh PKI dengan G-30S. Pegawai pemerintah banyak yang terjebak dan mendukung Partai Komunis. Pada awal era Orde Baru dilaksanakan penataan kembali pegawai negeri dengan munculnya Keppres RI Nomor : 82 Tahun 1971 tentang Korpri. Berdasarkan Kepres yang bertanggal 29 November 1971 itu, Korpri “merupakan satu-satunya wadah untuk menghimpun dan membina seluruh pegawai RI di luar kedinasan” (Pasal 2 ayat 2).

Tujuan pembentukannya Korps Pegawai ini adalah agar “Pegawai Negeri RI ikut memelihara dan memantapkan stabilitas politik dan sosial yang dinamis dalam negara RI”.Akan tetapi Korpri kembali menjadi alat politik. UU No.3 Th.1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya serta Peraturan Pemerintah No.20 Th.1976 tentang Keanggotaan PNS dalam Parpol, makin memperkokoh fungsi Korpri dalam memperkuat barisan partai. Sehingga setiap kali terjadi birokrasi selalu memihak kepada salah satu partai, bahkan dalam setiap Musyawarah Nasional Korpri, diputuskan bahwa organisasi ini harus menyalurkan aspirasi politiknya ke partai tertentu.

Memasuki Era reformasi muncul keberanian mempertanyakan konsep monoloyalitas Korpri, sehinga sempat terjadi perdebatan tentang kiprah pegawai negeri dalam pembahasan RUU Politik di DPR. Akhirnya menghasilkan konsep dan disepakati bahwa Korpri harus netral secara politik. Bahkan ada pendapat dari beberapa pengurus dengan kondisi tersebut, sebaiknya Korpri dibubarkan saja, atau bahkan jika ingin berkiprah di kancah politik maka sebaiknya membentuk partai sendiri.

Setelah Reformasi dengan demikian Korpri bertekad untuk netral dan tidak lagi menjadi alat politik. Para Kepala Negara setelah era Reformasi mendorong tekad Korpri untuk senantiasa netral. Berorientasi pada tugas, pelayanan dan selalu senantiasa berpegang teguh pada profesionalisme. Senantiasa berpegang teguh pada Panca Prasetya KorpriPP Nomor 12 tentang Perubahan atas PP Nomor 5 Tahun 1999 muncul untuk mengatur keberadaan PNS yang ingin jadi anggota Parpol. Dengan adanya ketentuan di dalam PP ini membuat anggota Korpri tidak dimungkinkan untuk ikut dalam kancah partai politik apapun. Korpri hanya bertekad berjuang untuk mensukseskan tugas negara, terutama dalam melaksanakan pengabdian bagi masyarakat dan negara.

Selengkapnya...

Visi & Misi


Visi


Terwujudnya Unit Nasional Korpri Dephan sebagai mitra kerja Dephan dalam mengemban tugasnya, serta meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan anggota.

Misi

Guna merealisasikan Visi tersebut, maka Unit Nasional Korpri Dephan menetapkan Misi sebagai berikut :
a. Mewujudkan organisasi Korpri sebagai penampung aspirasi PNS Dephan
b. Memperkuat kedudukan, wibawa, dan martabat organisasi Korpri
c. Meningkatkan peran serta Korpri dalam membangun kompetensi PNS Dephan
d. Meningkatkan perlindungan hukum dan pengayoman kepada anggota
e. Meningkatkan ketaqwaan dan profesional anggota
f. Mewujudkan rasa kesetiakawanan dan solidaritas sesama anggota Korpri.
g. Mengupayakan dan melaksanakan kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan anggota dan keluarganya.

Selengkapnya...

DOKTRIN KORPRI

Doktrin Korpri adalah kebulatan tekad dan kesatuan pemikiran Korpri, tentang dasar-dasar dan pokok-pokok pelaksanaan dan pengembangan, pengabdian kepada Bangsa, Negara dan masyarakat Indonesia dan menjadi pedoman serta bimbingan bagi segenap anggota dalam melaksanakan asa dan mencapai tujuan Korpri. Doktrin Korpri disebut “BHINEKA KARYA ABDI NEGARA” yang berarti walaupun anggota-anggota Korpri melaksanakan tugas di berbagai bidang dengan jenis karya yang beraneka ragam, dalam rangka pelaksanaan pengabdian kepada bangsa, Negara dan masyarakat Indonesia.
Selengkapnya...