Wednesday, November 19, 2008

URGENSI MORAL BAGI PNS

Oleh : Teguh

Dengan mengemban Panca Prasetia Korpri, anggota Korps Pegawai Republik Indonesia memiliki banyak hal yang layak untuk kita review. Sebagai aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat sudah sepantasnya anggota Korpri berjiwa kesatria dalam menerima segala macam kritik dan masukan dari berbagai elemen masyarakat. Anggota Korpri yang identik dengan pegawai negeri atau ”pegawainya” pemerintah adalah gambaran berbagai sorotan yang belum mengimplementasikan secara optimal : kedisiplinan, produktifitas, kinerja dan moral (akhlak). Dalam keseharian dinilai masih jauh dari yang dicita-citakan oleh nilai-nilai dalam Panca Prasetia, sebagai filosofi dasar anggota Korpri.


Tulisan ini mencoba melihat fenomena yang menyentuh perlunya perubahan mendasar para elemen dan elite anggota Korpri di semua lini. Kita akan mereview kembali betapa pentingnya nilai-nilai dasar yang wajib dipegang teguh oleh semua, dalam hal ini kaitannya dengan urgensi moral aparatur. Walaupun pada dasarnya tatanan kehidupan bangsa Indonesia akhir-akhir ini tidak hanya dimulai dari perilaku apartur, melainkan telah terlampau kompleks, sehingga memunculkan apa yang disebut dengan reformasi. Reformasi (Re = kembali, Format/Formatie = bentuk) yang berkembang sejak tahun 1998 merupakan kehendak bangsa Indonesia untuk meredefinisikan seluruh tatanan, aturan dan pelaku utama biokrasi yang secara formal selama beberapa dasawarsa mendapat legitimasi.

Bentuk-bentuk aturan dan tatanan yang dianggap mapan, ditinjau kembali sebagai upaya penghilangan unsur-unsur yang berbias penyimpangan. Disadari, dengan terkuaknya berbagai penyimpangan maka citra bangsa secara keseluruhan di mata masyarakat dan dunia kurang begitu menguntungkan; di antaranya secara moral merendahnya apresiasi masyarakat terhadap aparatur dan secara ekonomis berkurangnya investasi bertambahnya pengangguran. Norma-norma hukum, ekonomi, politik, keamanan dan hak asasi manusia (HAM); bahkan moral dan etika bangsa menjadi tameng untuk membenarkan kehendak individu. Maka sebagian komponen bangsa --yang belakangan disebut reformis-- menghendaki agar segera diagendakan perubahan-perubahan yang mendasar untuk mengembalikan tatanan yang dianggap menyimpang itu kembali pada rel yang sebenarnya. Dengan demikian reformasi menjadi kendaraan utama untuk keluar menuju kearah perbaikan total.


Keragaman Rawan Gesekan

Dikembalikan pada hakekat bangsa Indonesia yang heterogen dan majemuk maka tidak mustahil banyak sekali kerawanan yang terjadi dan mengakibatkan terpecahnya keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa. Bila lima macam agama yang diakui, puluhan adat istiadat yang berkembang, ratusan bahasa, ribuan pulau dan jutaan warga masyarakat, tentunya moral dan akhlaknya pun berbeda satu sama lain. Ini berarti teramat riskan dengan terjadinya gesekan, konflik dan intrik antar sesama. Di sinilah keberagaman sebagai sumber krisis jika tidak dikelola dengan arif.

Untuk itu, memahami akan hakekat kemajemukan tersebut diperlukan sikap saling pengertian satu sama lain, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat maupun bangsa. Terlebih disadari bahwa keberagaman ternyata merupakan titah dari Yang Maha Kuasa; maka prinsipnya bila diambil nilai positif terdapat sumber yang menguntungkan yang dalam bahasa agama Islam disebut rahmat.

Namun demikian, betapun perbedaan sebagai sumber krisis atau sebagai sumber rahmat sangat bergantung pada moral (baca : akhlak) setiap anak bangsa.di sisni kita dibenarkan untuk mengharap kemungkinan peranan agama secara lebih besar. Bagi Muslim selain timbul dari kesadaran keimanannya, memiliki peran dan pengaruh sangat besar pula dalam menentukan perubahan akhlak dan moral bangsa ini. Oleh karena itu, terdorong untuk melihat diri sendiri dengan jujur melalui pertanyaan pribadi : Benarkah umat ini telah dijiwai dan dibimbing oleh akhlak yang mulia? Sudahkah umat ini memenuhi penegasan Nabi Muhammad SAW bahwa dirinya diutus hanyalah untuk menyempurnakan keluhuran akhlak?

Kita sering membanggakan diri sebagai bangsa Timur (dengan konotasi : berbudaya tinggi, beradab sekaligus penuh adab) atau bangsa yang religius (yang berarti pula memilki akhlak yang diajarkan oleh setiap agama), tetapi dapat dikatakan bahwa kebanggaan tersebut ternyata kosong belaka. Bagaimana mungkin bila bangsa ini berakhlak dan bermoral tetapi perangkat, aturan, norma : hukum, politik, ekonomi ternyata banyak diselewengkan. Bagaimana mungkin bila berakhlak : sopan, berbudi pekerti luhur, ramah bila orang asing baik sebagai wisatawan atau investor menemukan kejanggalan dalam perlakuan. Si wisatawan kaget dengan penodongan dan penjambretan di jalanan sementara investor ketakutan dengan perilaku para buruh yang senantiasa menuntut hak dengan mengesampingkan kewajibannya. Semua ketidaknyamanan bersumber dari moralitas anak bangsa yang tak terkendali dengan mengatasnamakan hak-hak bangsa. Mereka menemukan bangsa yang (maaf) merusak, membakar, menjarah, korup dan sekian banyak predikat negatif lainnya. Kita termasuk bangsa yang pandai membuat aturan, perangkat, sistem dan asas serta kita pun bangsa yang taat dengan asas bagaimanapun resikonya. Akan tetapi dibalik itu kita pun dinilai termasuk yang tidak konsisten dengan aturan yang kita buat sendiri.


Peran Akhlak

Bangsa lain melihat bagaimana pungli dijumpai dimana-mana, penyelewengan sudah cukup sebagai skandal yang memalukan. Pemaknaan conflict of interest di negeri yang beradab ini masih sedemikian lemahnya atau bahkan tidak ada sama sekali. Akhirnya dalam kenyataan praktek-praktek ekonomi, politik, hukum, birokrasi dan sebagainya sangat bertentangan dengan deklarasi moral bangsa kita yang nota bene sebagai bangsa yang bermoral, berakhlak dan beragama.

Ketimpangan sosial, ekonomi, penerapan hukum dan keadilan dengan memandang bulu saat itu tidak karena keslahan kita sendiri. Yaitu karena tidak adanya prinsip berpegang teguh pada akhlak dan moral sebagaimana yang dikehendaki oleh setiap agama. Agama menjadi sendi pokok ketahanan suatu bangsa menghadapi panca roba zaman. Tanpa akhlak yang baik suatu bangsa akan binasa. Sebuah syair berbahasa Arab menyebutkan :

Sesungguhya bangsa-bangsa itu tegak selama (mereka berpegang pada) akhlaknya. Bila akhlak mereka rusak dan binasa pulalah mereka.

Akhlak dan moral sangat menentukan kejayaan dan kehancuran suatu bangsa. Pembinaan moral bangsa secara hukum dimulai oleh penegak keadilan dan ditegakkannya produk hukum pun harus sejalan dengan moral agama. Sementara penegak keadilan pun harus berpandangan bahwa hukum dan keadilan yang diembannya sebagai amanah Tuhan yang harus dijunjung tinggi. Begitu pula pembinaan moral yang lain : politik, ekonomi dan seterusnya, harus berpangkal pada akhlak politik (high politics) serta moral ekonomi yang sebenarnya. Artinya, tidak sekedar perprinsip pada pengeluaran modal yang sedikit mungkin untuk memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Ini akan melanggar akhlak ekonomi yang diajarkan oleh agama apapun.
Prinsip Mazhavelle yang perpegang pada penghalalan segala cara untuk mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda benar-benar awal dari kehancuran suatu bangsa secara keseluruhan.

Moral itulah yang akan menciptakan kebaikan, siapa pun yang menegakkanya. Dan pelanggaran terhadap keadilan akan mengakibatkan malapetaka, siapa pun yang melakukannya. Oleh sebab itu, didalam Al-Qur’an ditegaskan bahwa keadilan harus ditegakkan sekalipun mengenai karib, kerabat, teman (kroni) serta familinya. Sekaligus tidak dibenarkan karena suatu kebencian dan konflik pribadi membuat keadilan tidak dapat ditegakkan. Rasulullah Saw, pernah mengultimatum dihadapan putri dan Sahabat-sahabatnya : ” Seandainya putriku (fatimah) ini mencuri, maka biar aku (Rasul) sendiri yang akan memotong tangannya ”.

Prinsip akhlak di dalam Islam juga dilihat dari aspek-aspek yang lain, termasuk sosial dan ekonomi. Bahwa kewajiban memperhatikan kaum terlantar (dhu’afaa), jika tidak dilakukan dengan sepenuhnya akan mengakibatkan kehancuran suatu masyarakat. Implikasi dari usaha menegakkan keadilan bagi merekan ialah dengan memperjuangkan kepentingan golongan masyarakat yang terpuruk serta kurang beruntungnya nasibnya itu. Padahal, selama ini terlihat oleh kita bahwa penerapan keadilan sosial belum sepenuhnya menyentuk masyarakat tersebut. Kebijakan ekonomi bertumpu dan berputar pada pengusaha-pengusaha tertentu, sehingga menjadikan ketimpangan keadilan sosial dan ekonomi lebih menjolok. Untuk itulah diperlukan tatanan dan aturan yang mendukung keberadaan (eksistensi) sosial ekonomi di semua lini masyarakat, baik kecil maupun menengah tanpa mengesampingkan kelas atas.

Dalam hal ini diperlukan rancangan aturan yang berbasis pada keadilan sehingga praktek-praktek bisnis yang tidak sehat dapat dihilangkan. Demikian pula aturan-aturan tersebut benar-benar mampu menghilangkan praktek-praktek korupsi, kolusi, dan manipulasi yang berdampak pada penguasaan/monopoli suatu usaha. Lebih dari itu semua, pelaku kebijakan teras atas serta komponen masyarakat penegak keadilan pun harus bertumpu pada moral yang ditegakkan oleh hati nuraninya. Bukan sekedar karena aturan semata. Semoga. ***





0 comments: