Tuesday, November 18, 2008

Kesadaran Kolektif yang Terkoyak

Ditulis oleh: Sawali Tuhusetya | Saturday, 10 May 2008 |
(Refleksi Satu Dekade Reformasi)

Bangsa merupakan keinsyafan, sebagai suatu persekutuan yang tersusun jadi satu, yaitu keinsyafan yang terbit karena percaya atas persamaan nasib dan tujuan. Keinsyafan tujuan bertambah besar karena sama seperuntungan, malang yang sama diderita, mujur yang sama didapat oleh karena jasa bersama. (Mohammad Hatta)


Sengaja saya kutip pernyataan Bung Hatta sebagai prolog tulisan ini sekadar untuk mengingatkan betapa sebagai sebuah bangsa, kita (nyaris) telah kehilangan keinsyafan diri untuk bersama-sama membangun peradaban yang lebih terhormat dan bermartabat. Tanpa bermaksud ”memberhalakan” romantisme masa silam, agaknya negeri kita justru telah mengalami set-back. Kita sedang memasuki sebuah fase peradaban yang ”sakit”, di mana rasa kebersamaan, keinsyafan diri, dan kesadaran kolektif telah menjelma ke dalam egoisme dan primordialisme sempit yang mewujud pada pemujaan terhadap kultur kekerasan dalam menyelesaikan masalah-masalah kebangsaan. Persoalan-persoalan kebangsaan telah dimaknai secara sempit; mengalami reduksi dan involusi budaya; sehingga menghilangkan kesejatian diri sebagai bangsa yang santun dan antikekerasan.

Satu abad sudah peristiwa heroik yang menggetarkan nurani bangsa itu berlalu. Budi Utomo (1908) dan Sumpah Pemuda (1928) merupakan dua momentum bersejarah yang akan terus dicatat dalam lembar historis negeri ini, betapa kaum muda selalu menjadi motor perubahan. Keberadaan kaum muda dengan segenap gerak dan dinamikanya senantiasa menyajikan adonan sejarah yang manis dalam upaya menggerakkan roda peradaban. Tidak mustahil apabila ada yang bilang bahwa pemuda bagaikan mutiara yang akan terus memancarkan pamor perubahan pada setiap era dan peradaban.

Kalau kita sedikit falshback ke masa silam, tokoh-tokoh semacam Sutomo, Gunawan, Tjipto Mangunkusumo, Suwardi Suryoningrat (Ki Hajar Dewantara), atau Douwes Dekker adalah sosok-sosok kaum muda idealis yang memiliki kesadaran kolektif untuk membangun sebuah bangsa yang merdeka, lepas dari cengkeraman kaum kolonial yang jelas-jelas telah menghancurkan martabat dan eksistensi sebuah bangsa. Dengan nada getir, Ki Hajar Dewantara menyatakan:

Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan dinegeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengkongsi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingan sedikitpun

Tulisan yang dimuat di surat kabar de Expres milik Dr. Douwes Dekker (1913) itu merupakan sebuah contoh ”pemberontakan” yang dengan amat sadar diekspresikan sebagai bentuk protes keras terhadap rencana pemerintah kolonial Belanda yang hendak merayakan 100 tahun kemerdekaan Belanda. Karena tulisan itulah, dia dan sahabatnya, Tjipto Mangunkusumo, mesti menjalani masa karantina di Negeri Belanda. Sebuah fakta historis, betapa pada zamannya, figur seorang pemuda mempertaruhkan nyali demi menegakkan nilai-nilai kehormatan dan kebenaran dari sebuah bangsa yang tertindas dan terjajah.

Peristiwa-peristiwa heroik semacam itu memang telah jauh melewat. Seiring dengan gerak dan dinamika peradaban, bangsa kita pasca-kemerdekaan terus mengalami perubahan. Tampilnya dwitunggal Soekarno-Hatta sebagai pucuk pimpinan tertinggi di negeri ini telah membangkitkan sebuah optimisme baru melalui semangat kemandirian dan berdikari sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Namun, agaknya kepemimpinan dwitunggal itu dinilai mulai tereduksi oleh fakta lain di mana nilai-nilai demokrasi hendak dikebiri dan dinafikan. Upaya pengangkatan Soekarno sebagai presiden seumur hidup dengan ikon demokrasi terpimpinnya telah melahirkan banyak kegelisahan dan ketidakpuasan di sebagian kalangan pemuda dan kaum intelektual. Kondisi itu diperparah dengan munculnya kalangan kiri yang berafiliasi ke paham komunis hingga membuat situasi negara tak menentu, bahkan telah melahirkan pertumpahan darah antarsesama warga bangsa. Dalam kondisi semacam itu, muncullah generasi 1966 yang dengan amat sadar ikut berkiprah untuk membangun kembali puing-puing bangsa yang berserakan akibat situasi negara yang chaos dan amburadul.
Kembali bangsa kita mengalami suksesi kepemimpinan. Soeharto yang dielu-elukan sebagai ”penyelamat bangsa” hadir mengibarkan “bendera” Orde Baru. Optimisme pun hinggap di setiap kepala. Pembangunan digalakkan. Pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa dijadikan slogan. Rezim Soeharto pun mampu bertahan hingga tiga dekade. Namun, kekuasaannya yang cenderung berbau korup dengan mengandalkan kekuataan militer yang represif sebagai ”tameng”-nya, membuat kepercayaan rakyat mulai goyah. Hal itu diperparah dengan kondisi perekonomian yang carut-marut akibat krisis moneter pada 1997. Maka, ”keperkasaan”-nya sebagai penguasa tunggal benar-benar berada pada titik nazir ketika kaum muda mahasiswa menggelontorkan roda reformasi. Rezim Orde Baru itu pun tersunggur dari panggung kekuasaan pada bulan Mei 1998, hingga lahirlah Orde Reformasi.

Pasca-reformasi, negeri ini telah mengalami beberapa kali suksesi. Mulai Habibie, Gus Dur, Megawati, hingga SBY. Namun, arus reformasi yang diharapkan mampu melahirkan perubahan yang bermanfaat buat rakyat itu dinilai masih ”mati suri”. Yang terjadi, justru sebaliknya. Krisis ekonomi telah menimbulkan krisis multidimensi. Kran kebebasan yang dibuka lebar-lebar, disadari atau tidak, telah memicu lahirnya ”rezim-rezim” baru. Kekerasan berbasis sentimen kesukuan, agama, ras, dan golongan meruyak (hampir) di seantero negeri. Nilai-nilai primordialisme hadir bersama kultur kekerasan hingga melahirkan berbagai peristiwa tragis. Angka pengangguran pun merangkak tajam. Kemiskinan merajalela. Kelaparan terjadi di mana-mana. Seiring dengan itu, nilai-nilai nasionalisme kita dipertanyakan. Kita demikian loyo dan tak berdaya ketika negeri jiran kita mencaplok beberapa pulau di daerah perbatasan. Kita juga tak bisa berbuat apa-apa ketika bangsa lain mengklaim hasil budaya anak-anak bangsa sebagai miliknya.
Dalam kondisi semacam itu, kita sangat merindukan lahirnya sosok pemimpin yang memiliki wisdom dan kearifan dalam mengelola negara. Sudah terlalu lama rakyat hidup dalam ketidakpastian. Harga-harga kebutuhan pokok yang terus melambung benar-benar telah menghancurkan daya beli rakyat miskin. Ironisnya, pemerintah justru ingin menaikkan harga BBM yang jelas-jelas akan menambah beban rakyat semakin berat.
Sungguh, kesadaran kolektif kita sebagai bangsa yang terhormat dan bermartabat pada satu dekade reformasi ini telah terluka. Setidaknya, ada semacam ”triumvirat” kesadaran kolektif kita yang terkoyak, yakni kesadaran masa silam (historis), kesadaran masa kini (realistis), dan kesadaran masa depan (futuristis). Ketiga komponen ”triumvirat” ini seharusnya membentuk sebuah kekuatan dahsyat dalam membangun sebuah peradaban. Kesadaran historis, realistis, dan futuristis harus kait-mengait dan berkelindan dalam sebuah mozaik peradaban. Hanya memiliki kesadaran historis, kita akan terjebak dalam romantisme masa silam yang berlebihan. Hanya memiliki kesadaran realistis, kita cenderung menjadi bangsa yang prgmatis. Hanya mengandalkan kesadaran futuristis, kita cenderung menjadi bangsa pemimpi.



0 comments: